Dalam kehidupan berumahtangga, cinta adalah sesuatu yang sangat penting, yang harus selalu dipupuk agar kehidupan di dalamnya selalu hidup. Dan barangkali itulah yang mendorong Klima melakukan bermacam penyelewengan, semata-mata agar cintanya kepada si istri selalu hidup. Karena setiap selesai menyeleweng, ia akan merasakan kemuakan, kejijikan, terhadap dirinya sendiri, dan setelahnya, begitu ia pulang dan melihat lagi istrinya, cintanya kepada si istri yang sebelumnya layu akan kembali segar. Ia merasa jatuh cinta lagi. Namun, hal tersebut bukan tanpa konsekuensi. Ketakutan selalu mengintai dirinya di manapun, kapan pun, bagai seekor rusa yang selalu merasa diawasi pemburu. Konsekuensi lainnya: si istri yang memang pencemburu akan selalu merasa curiga terhadapa dirinya. Dan pada titik inilah drama yang membuat saya terbahak dimulai: saat Klima yang sadar kebohongannya tercium oleh istrinya, tetapi tetap berpura-pura tidak tahu jika si istri menaruh curiga kepadanya, terus saja bercerita semeyakinkan mungkin; sementara si istri, berpura-pura tertarik dan tidak tahu tentang kebohongan tersebut, terus saja bertanya.

Klima paham betul menyoal konsekuensi yang harus dihadapinya; sepaham bahwa dirinya suatu hari nanti akan jatuh. Dan ketika hari itu tiba, ia bersama teman-temannya sebisa mungkin menggagalkan kemungkinan terburuk. Bukan tanpa alasan mereka mau membantunya. Pertama: selalu ada kemungkinan bahwa bukan Klima-lah yang harus bertanggung jawab, semata-mata karena mereka berdua hanya bertemu sekali dan dalam waktu yang singkat, dan sudah bukan hal baru kasus semacam itu terjadi; seorang perempuan muda yang meminta teman tidurnya yang terkenal untuk bertanggung jawab. Dan yang kedua, dan juga merupakan alasan paling penting: Klima benar-benar mencintai istrinya (meski sesungguhnya, bagi saya pribadi, caranya menunjukkan cinta tersebut terasa aneh. Akan tetapi, baiklah, kita kesampingkan dahulu masalah keanehan itu dan hormati rasa cinta yang ditunjukkannya). Maka, tibalah hari itu, selama lima hari penuh, Klima selalu merasakan Bumi yang dipijaknya akan runtuh.

*

Pesta Perpisahan merupakan novel Milan Kundera pertama yang saya baca sampai selesai. Sebelumnya, saya sempat membaca novelnya yang lain, Kitab Lupa dan Gelak Tawa—novel yang membuat pemerintah Cekoslovakia mencabut kewarganegaraannya pada tahun 1975—tetapi ketika itu, sebelum saya berhasil merampungkannya, si empunya buku sudah terlebih dulu membawa buku tersebut pulang ke rumahnya. Saya pun sempat membaca salah satu cerpen Kundera, Edward & Tuhan, dalam kumpulan cerita pendek yang di dalamnya tidak hanya berisi karya dirinya. Berangkat dari titik itu, saya mencapai satu kesimpulan: melalui si pencerita, Milan Kundera selalu hadir sebagai—meminjam istilah Eka Kurniawan—hampir-filsuf, yang selalu menceritakan hal yang sekilas terasa remeh sedetail-detailnya; si pencerita selalu memikirkan segala hal sampai bagian-bagian terkecilnya. Maka, bisa kalian temukan banyak gagasan berkelindan dalam semesta tokoh-tokohnya yang bisa membuat kalian merenung sekaligus berkata, “sialan” dalam karya-karyanya. Juga, Kundera sanggup menciptakan kelucuan dari sebuah kejadian yang sebetulnya menyedihkan.

Dalam Pesta Perpisahan, kelucuan itu hadir pada saat Kamila yang berusaha menyalakan hasrat dalam diri Klima. Sebagai sosok istri yang memahami betul suaminya, Kamila sebisa mungkin melakukan segala upaya demi membuat suaminya itu bergelora—meski sesungguhnya tindakan itu semata-mata hanya usahanya saja agar Klima tidak menyadari bahwa dirinya curiga. Ia tahu, pada saat itu si suami sedang dalam kondisi sulit, tertekan karena merasa dimata-matai, sekaligus merindukan belaian dari seseorang, maka kemudian itulah yang ia berikan. Dan Klima sendiri, meskipun sesungguhnya tahu bahwa Kamila sedang berpura-pura tidak tahu apa yang terjadi, berpura-pura tidak tahu jika Kamila tahu; sebisa mungkin berusaha membuat upaya Kamila berhasil. Dan yang terjadi kemudian, adalah semacam permainan dalam sebuah pesta. Namun, berbeda laiknya pesta pada umumnya, pesta yang ini tidak dirayakan dengan gempita. Melainkan dengan kejujuran yang disembunyikan.

wpid-p_20150814_093232_bf_1.jpg