Oleh: Alan Schweik

 

Dalam sebuah buku yang ditulis oleh Eric Weiner, ketika ia menceritakan kunjungannya ke Thailand, Eric mengatakan di sana, di Thailand, ada banyak jenis senyum. Karena penasaran, saya kemudian menanyakan hal tersebut kepada salah seorang kawan penggemar Arsenal yang berasal dari Thailand. Tidak menunggu lama, kawan saya itu langsung menjawab, “Ya”. Sayangnya, saat itu kawan saya tidak menjelaskan lebih rinci jenis senyum apa saja yang dikenal di Thailand. Pun saya, ketika itu tidak muncul hasrat untuk menanyakan hal tersebut lebih jauh. Yah, sudahlah. Lagipula saya pikir hal itu akan berlarut-larut bila harus ditanyakan melalui akun socmed. Sementara untuk berpindah korespodensi ke surel pun saya tidak terlalu berminat.

Lalu, pada waktu yang lain, saya sedang bersama seorang teman. Teman saya ini, adalah orang yang suka tertawa. Dia suka melontarkan gurauan, olok-olok, atau lawakan yang menurutnya lucu. Dengan begitu dia akan tertawa bahagia—kelihatannya sih. Namun tak urung, mau atau tidak saya pun tertawa juga, mengingat ketika itu, boleh dibilang kami adalah kawan lama, yang jarang bertemu pula, sehingga tak elok rasanya jika saya menghancurkan kehangatan pertemuan itu dengan tidak menertawai leluconnya. Pada mulanya saya sendiri bertanya-tanya kepada diri sendiri untuk apa saya tertawa? Padahal, jelas bagi saya leluconnya tidak menarik, sekalipun untuk dihargai dengan sebuah tawa yang indah.

Pada satu titik, percaya atau tidak, keadaan itu sungguh menyiksa. Kalian tahu kan rasanya menjadi seorang munafik? Kenyataannya pada saat itu saya tengah merayakan kemunafikan. Saya dengan sukarela menjadi manusia munafik, tertawa untuk hal yang saya pikir tidak lucu, tidak layak untuk dianggap lucu, bahkan terkadang sebenarnya terkesan kurang ajar.

Begitulah, keadaan itu berlangsung sekira tiga hari. Barangkali, kalau saya tidak segera mengembangkan kemampuan untuk beradaptasi dengan keadaan menyiksa semacam itu, dan hal itu berlangsung sedikit lebih lama lagi, saya pasti akan merasa sekarat. Kalian tidak akan percaya betapa menyiksanya ketika harus tertawa pada sesuatu yang lucu pun belum. Syahdan, tepat pada hari terakhir, saya seperti orang yang tengah dilimpahi kasih Tuhan. Tiba-tiba saya mendapat semacam hidayah! Daripada tersiksa menertawai lelucon-leluconnya yang tak lucu itu, kenapa saya tidak menertawai tingkahnya saat melontarkan lelucon-lelucon itu? Maka di sanalah saya, tertawa menertawakan orang yang mencoba berkelakar. Semoga teman saya itu tidak mengetahui bahwa saya sedang menertawakan dirinya, alih-alih menertawai lelucon-leluconnya. Tetapi, setelah siksaan itu lewat, ketika saya sedang berlagak untuk berpikir, saya menemukan satu kesimpulan: sampai saat ini saya masih tidak paham terhadap gelak tawa itu.

Lalu, seminggu yang lalu, saya menyadari jenis gelak tawa yang meluap-luap itu. Saya baru saja membaca buku Kitab Lupa dan Gelak Tawa karangan Milan Kundera. Kundera, dalam buku itu dengan gamblang menunjukkan kepada saya jenis tawa macam apa yang saya pertontonkan waktu itu. Itu adalah jenis gelak tawa yang kehilangan makna.

Kundera dalam buku ini membagi gelak tawa menjadi dua macam. Yang pertama adalah gelak tawa serius; yaitu gelak tawa milik para malaikat, gelak tawa penuh arti, gelak tawa bahagia. Sepasang sejoli yang berlarian di sepanjang jalan sambil bergandengan tangan dengan gelak tawa; itu adalah jenis gelak tawa malaikat. Dan jenis gelak tawa yang lain, adalah gelak tawa seperti yang telah saya bualkan panjang lebar di atas. Sebuah tawa tanpa makna. Ketika kalian tertawa karena suatu hal, lanjutkanlah tawa itu. Berulang-ulang. Lagi dan lagi. Sampai kalian tidak mengetahui lagi tawa kalian disebabkan apa. Itulah gelak tawa setan, gelak tawa yang mengejek segala hal, seolah-olah segala hal tidaklah memiliki makna.

Milan Kundera menyebut buku ini, Kitab Lupa dan Gelak Tawa, dalam satu kesempatan, merupakan sebuah novel; meskipun tidak mau memaksakan pendapatnya kepada siapapun. Dan jika kalian, entah bagaimana, tergiur untuk membaca buku ini, tolong, tidak perlu kaget atau merasa jengah ketika mendapati bahwa buku ini agak berbeda. Berbeda seperti apa? Mmmm … sesungguhnya tidak berbeda-beda amat sih. Buku ini masih terbagi dalam 7 bab—ya, Kundera sangat menyukai angka 7, sehingga banyak bukunya terbagi dalam 7 bab. Pun demikian dengan buku terbarunya, Festival of Insignificant. Kundera masih menulis dengan gaya yang sama, ia suka sekali menguliti setiap tokoh-tokohnya hingga ke lapis paling tipis, bahkan tindakan paling remeh pun terkadang tidak lepas dari telaahnya. Yang menjadikan buku ini berbeda adalah perihal bentuk buku ini. Itulah kenapa Kundera sendiri enggan memaksakan pendapatnya, bahwa buku ini adalah sebuah novel. Satu-satunya yang mengikat keseluruhan cerita dalam buku ini, adalah tema: Lupa dan Gelak Tawa. Maka janganlah heran bila ada yang menyebut buku ini adalah buku variasi.

Seperti apa, sih, buku variasi? Nah, ada baiknya kalian membaca buku ini sendiri. Saya tidak bisa banyak menceritakan buku ini selain bahwa pada setiap bab dalam buku ini, Kundera mengunakan tokoh-tokoh yang berlainan, yang tidak saling memiliki hubungan sama sekali. Buku ini nampak juga oleh saya sebagai sebuah buku hampir non-fiksi—atau apapun kalian ingin menyebutnya. Yang jelas, bagi saya, adalah kepiawaian Kundera dalam bertutur begitu memukau.

Siapa sih yang bisa membuat sebuah adegan topi yang jatuh tertiup angin di tengah upacara pemakaman menjadi begitu lucu, begitu menggelikan? Kundera dengan cara yang brilian membuat hal itu menjadi sebuah penderitaan bagi orang-orang yang tersiksa menahan tawa di tengah prosesi pemakaman. Tidak hanya itu, lewat perkara topi pula Kundera menggambarkan dengan indah sebuah monumen kenangan yang sungguh lucu akan kelakuan para penguasa yang sewenang-wenang hendak membuat lupa sebuah bangsa akan kehadiran/kehidupan seseorang. Milan Kundera mengatakan bahwa “Perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan manusia melawan lupa.”

Membaca buku ini merupakan sebuah pengalaman yang menggiurkan. Tidak ada ruginya membaca tulisan Kundera. Tentu saja, coba bayangkan, sebagai orang yang gampang bosan pada sebuah buku dari seorang penulis yang sama, saya telah melahap 4 buku tulisan Milan Kundera. Dan entah kenapa saya makin lapar, saya mendambakan ada buku terjemahan Life is Elsewhere dan Festival of Insignificant.

Terakhir, saya memberi 5 biintang untuk buku ini.

Judul: Kitab Lupa dan Gelak Tawa
Penulis: Milan Kundera
Penerbit: Narasi
Alih bahasa: Marfaizon Pangai
Tahun terbit: cetakan 1, 2015
ISBN: 979-168-429-4

wpid-kitab-lupa-dan-gelak-tawa.jpg.jpeg

*dikutip dari wawancara Milan Kundera dengan Phillip Roth di bagian akhir buku ini.
**tulisan ini merupakan hasil salin-tempel dari blog si penulis yang bisa kalian baca di sini.