Oleh: Milan Kundera

Alain Merenungkan Pusar

Saat itu bulan Juni, matahari pagi muncul dari balik awan, dan Alain berjalan santai di Jalan Paris. Dia mengamati gadis-gadis muda; setiap dari mereka memamerkan pusar, di antara sabuk ikat pinggang yang terlalu ke bawah dan kaos potong yang sangat pendek. Dia terkesan, terkesan dan juga terganggu: menyadari jika yang menggairahkan dari mereka bukanlah paha mereka, bokong mereka, atau payudara mereka tetapi lubang kecil di tengah tubuh.

Hal ini memancing dirinya untuk membayangkan: jika seorang pria (atau suatu era) melihat paha sebagai sesuatu yang paling menggairahkan dari perempuan, bagaimana pria itu melukiskan dan menetapkan kekhususan orientasi erotis tersebut? Dia menjawabnya sendiri: panjang paha diumpamakan jalan yang panjang, jalan yang memesona (itulah mengapa paha haruslah panjang) yang mengantarkannya menuju pencapaian erotis. Tentu saja—Alain berkata kepada dirinya sendiri—di tengah-tengah sanggama, panjang paha membantu seorang wanita dengan sihir romantisnya yang tidak bisa dimasuki.

Jika seorang pria (atau suatu era) melihat bokong sebagai sesuatu yang paling menggairahkan dari perempuan, bagaimana pria itu melukiskan dan menetapkan kekhususan orientasi erotis tersebut? Dia menjawabnya sendiri: kekejaman, semangat yang tinggi, jalan pintas untuk mencapai tujuan, dan tujuan menjadi jauh lebih menarik lagi karena berlipat dua.

Jika seorang pria (atau suatu era) melihat payudara sebagai sesuatu yang paling menggairahkan dari perempuan, bagaimana pria itu melukiskan dan menetapkan kekhusuan orientasi tersebut? Dia menjawabnya sendiri: penyucian dari seorang wanita, Perawan Maria menyusui Yesus, pria bertekuk lutut di hadapan misi mulia seorang wanita.

Akan tetapi, bagaimana menetapkan sesuatu yang berkenaan dengan nafsu birahi dari seorang pria (atau suatu era) yang melihat bagian tengah tubuh adalah yang paling menggairahkan, pada pusar?

Jadi: berjalanlah dengan santai sepanjang jalan, dia akan sering berpikir tentang pusar, tidak merasa terganggu saat kembali memikirkannya, dan dengan kekeraskepalaan yang aneh terus saja melakukannya, pusar itu sendiri membangunkan ingatan lamanya: ingatan tentang pertemuan terakhirnya dengan ibunya.

Dia berusia sepuluh tahun saat itu. Dia dan Ayahnya liburan berdua saja, di sebuah villa sewaan yang di dalamnya terdapat kebun dan kolam renang. Itu merupakan kali pertama ibunya datang untuk menemui mereka setelah menghilang selama beberapa tahun. Mereka lantas mengunci diri di dalam villa, ibunya dan mantan suaminya. Sampai bermil-mil jauhnya, udara yang berembus dari tempat itu serasa mencekik. Berapa lama ibunya tinggal? Agaknya tidak lebih dari satu atau dua jam, dan selama waktu itu, Alain mencoba untuk menghibur dirinya sendiri di kolam renang. Dia baru saja naik ketika ibunya berhenti untuk mengucapkan selamat tinggal kepadanya. Ibunya sendirian. Apa yang Ayah dan Ibunya perbincangkan? Dia tidak tahu. Ia hanya ingat Ibunya duduk di kursi taman dan … itu dia, masih mengenakan celananya yang basah, berdiri di hadapan ibunya. Apa yang mereka obrolkan sudah dilupakannya, tetapi sebuah momen terpatri dalam ingatannya, sebuah momen yang nyata, menggurat dengan tajam: dari kursinya, ibunya menatap dengan sungguh-sungguh pusar anak lelakinya. Dia masih merasakan tatapan pada perutnya itu. Sebuah tatapan yang sulit dipahami: tatapan yang nampak baginya semacam campuran antara rasa haru dan jijik; bibir ibunya menampilkan senyum (sebuah senyum haru dan jijik secara bersamaan); kemudian, tanpa beranjak dari kursi, ibunya memiringkan badan ke arahnya dan, dengan jari telunjuknya, menyentuh pusarnya. Tidak lama setelah itu, Ibunya bangkit, menciumnya (apakah Ibunya benar-benar menciumnya? Barangali, tetapi dia pun tidak yakin), dan pergi. Dia tidak pernah melihat ibunya lagi.

 

Seorang Wanita yang Keluar dari Mobilnya

Sebuah mobil berukuran kecil melaju di sepanjang jalan di samping sungai. Udara pagi yang dingin menambah kesan muram pada sebuah daerah yang sepi, di suatu tempat di antara pinggiran dan bagian lepas wilayah, di mana rumah-rumah hampir tidak ada dan tidak seorang pejalan kaki pun terlihat. Mobil itu berhenti di sisi jalan; seorang wanita turun—muda, cukup cantik. Sesuatu yang ganjil terjadi: wanita itu mendorong pintu mobilnya dengan begitu ceroboh yang mana mobil itu tidak seharusnya dikunci. Apa arti kecerobohan itu, supaya mustahil hari ini berurusan dengan pencuri? Apakah wanita itu begitu kebingungan?

Tidak, dia tidak terlihat kebingungan; malah sebaliknya, kebulatan tekad tampak pada wajahnya. Wanita ini tahu apa yang ia mau. Wanita ini memiliki kemauan yang murni. Dia berjalan beberapa ratus yard sepanjang jalan, menuju jembatan yang merentangi sungai, cukup tinggi, jembatan yang sempit, terlarang untuk kendaraan. Dia melangkah di atasnya dan kepalanya melongok ke tepian jauh. Beberapa kali dia melihat ke sekeliling, tidak seperti seorang wanita yang mengharapkan seseorang, tetapi untuk meyakinkan bahwa tidak ada seorang pun yang memperhatikannya. Di tengah-tengah jembatan, dia berhenti. Sekilas dia kelihatan ragu-ragu, tetapi, bukan, itu bukan keragu-raguan atau kelesuan mendadak akibat kebingungan; sebaliknya, itu adalah jeda untuk menajamkan konsentrasinya, untuk memantapkan tekadnya. Tekadnya? Lebih tepatnya: kebenciannya. Ya, jeda yang terlihat seperti keragu-raguan itu sesungguhnya adalah cara untuk memanggil kebenciannya agar kebencian itu berdiri di dekatnya, mendukungnya, bukan untuk membelot terhadap keinginan awalnya seketika.

Dia mengangkat kakinya ke atas susuran dan membebaskan dirinya ke dalam kekosongan. Pada menit-menit akhir jatuhnya, ia dengan brutal menghantam permukaan air yang keras dan dingin membekukan, tetapi setelah beberapa detik yang lama, ia mengangkat wajahnya, dan sejak saat itu secara otomatis tubuhnya merespon dengan menjadi perenang yang andal, melawan keinginannya untuk mati. Dia membenamkan kepalanya ke dalam air, memaksa dirinya sendiri untuk menghirup air, untuk membendung pernapasannya. Tiba-tiba, dia mendengar teriakan. Sebuah teriakan dari tepi sungai yang jauh. Seseorang telah melihatnya. Dia paham bahwa mati tidaklah mudah, dan musuh terbesar keinginannya bukanlah reflek perenang dalam dirinya, melainkan seseorang yang tak sanggup ia bayangkan. Dia harus bertempur. Bertempur untuk kematiannya.

 

Wanita itu Membunuh

Dia memandang ke sumber teriakan. Seseorang telah melompat ke sungai. Lantas dia mengira-ngira: siapa lebih cepat, dia, dengan ketetapan hatinya agar terus di dalam air, menelannya, menenggelamkan dirinya sendiri, atau pria itu, sosok yang sedang mendekat ke arahnya? Ketika wanita itu dalam keadaan setengah tenggelam, dengan air memenuhi paru-parunya dan dengan demikian membuatnya lemah, tidakkah ia menjadi sasaran empuk bagi juru selamatnya itu? Sang juru selamat akan menarik wanita itu ke tepian, membaringkannya di atas tanah, menekan air keluar dari paru-parunya, menggunakan teknik mulut ke mulut, memanggil pasukan bantuan, polisi, dan wanita itu akan diselamatkan dan ditertawakan selama-lamanya.

“Berhenti! Berhenti!” Pria itu berteriak.

Segalanya berubah. Daripada menyelam ke dalam air, wanita itu mengangkat kepalanya dan menarik napas panjang untuk mengumpulkan kekuatan. Pria itu sudah berada di hadapannya. Pria muda. Seorang remaja, yang berharap menjadi terkenal, dan fotonya terpampang di koran-koran. Dia terus mengulangi kata-katanya, “Berhenti!” Berhenti!” Dia sudah memegang tangan wanita itu, yang menggapai-gapai ke arahnya, dan wanita itu, daripada menghindarinya, memilih untuk menggenggamnya, menggenggamnya kuat-kuat, dan menariknya (juga pria itu) ke dalam sungai. Lagi, pria itu berteriak, “Berhenti!” seolah hanya kata-kata itulah yang sanggup ia katakan. Akan tetapi, pria muda itu tidak akan berkata-kata lagi. Wanita itu menahan si pria dengan lengannya, menariknya ke dasar sungai, kemudian dengan menggunakan kekuatan tubuhnya menahan kepala pria itu agar tetap berada di dalam air. Pria itu balik menyerang, tangannya menampar-nampar, dia sudah menelan air, mencoba untuk menyerang si wanita, tetapi wanita itu terus saja berada di atasnya; dia tidak bisa mengangkat kepalanya untuk mengambil napas, dan setelah beberapa lama, beberapa lama yang panjang, dia tidak lagi bergerak. Si wanita menahan si pria dalam posisi seperti itu selama beberapa jenak; juga karena wanita itu kelelahan dan gemetaran, dia beristirahat, sambil terus berada di dekat si pria. Kemudian, setelah yakin bahwa pria itu tidak akan membuat kekacauan lagi, dia melepaskan si pria dan berenang menjauh, menuju tepian sungai tempatnya datang, dan segera melupakan apa yang baru saja terjadi.

Tapi, apa yang terjadi? Apakah wanita itu sudah melupakan tujuannya? Mengapa dia tidak menenggelamkan dirinya sendiri, sejak seseorang yang mencoba merenggut kematiannya tidak lagi hidup? Mengapa, sekarang dia bebas melakukan apa saja, bukankah tidak ada lagi seorang pun yang melihatnya mati?

Tanpa diduga-duga, keinginanannya untuk hidup perlahan pulih dan secara mengejutkan telah menghancurkan tekadnya; dia telah kehabisan tenaga untuk mati. Dia terguncang, dan mendadak keinginan yang entah apa terlepas, sebuah kekuatan; seperti mesin, dia berenang menuju tempat mobilnya ditinggalkan.

 

Si Wanita Kembali ke Rumah

Sedikit demi sedikit, dia merasa sungai itu semakin dangkal, menyentuhkan kakinya ke dasar sungai, berdiri; dia kehilangan kedua sepatunya di dalam lumpur dan tidak memiliki tenaga untuk mencarinya; dia meninggalkan sungai dengan bertelanjang kaki dan menaiki tepian dan berjalan ke jalan raya.

Dunia yang kembali dilihatnya tampak tidak ramah, dan secara tiba-tiba memerangkapnya dalam semacam kegelisahan; dia kehilangan kunci mobilnya! Di mana benda itu? Roknya tidak memiliki saku.

Berhadapan dengan kematianmu, kau sama sekali tidak khawatir dengan apa-apa yamg kaujatuhkan di sepanjang jalan. Pada saat dia meninggalkan mobil, masa depan tidak lagi ada. Tidak ada yang perlu disembunyikan. Sebaliknya, sekarang, secara mendadak, dia harus menyembunyikan segalanya. Tanpa meninggalkan jejak. Kegelisahan yang dirasakanya tumbuh semakin kuat dan lebih kuat: Di mana kunci mobilnya? Bagaimana caranya pulang?

Dia mendekati mobilnya, menarik pintunya, dan, mengherankan si wanita, pintu itu terbuka. Kunci itu menunggunya, ditelantarkan di dasbor. Dia duduk di depan kemudi dan menekan pedal dengan kaki telanjang. Dia masih terguncang. Sekarang dia terguncang karena kedinginan. Kaosnya, roknya, basah kuyup, dengan air sungai yang kotor menetes ke mana-mana. Dia memutar kunci dan berhenti.

Seseorang yang mencoba memaksakan hidup kepadanya telah mati tenggelam,dan seseorang yang selalu ia coba bunuh di dalam perutnya masih hidup. Gagasannya tentang bunuh diri telah pergi untuk selamanya. Tidak ada pengulangan. Pria muda itu mati, janin dalam perutnya masih hidup, dan dia akan melakukan segala yang ia bisa agar tidak seorang pun tahu apa yang terjadi. Dia terguncang, dan dia akan kembali hidup; tidak memikirkan apa pun selain yang akan segera terjadi: bagaimana cara keluar dari mobil tanpa terlihat? Bagaimana caranya, tanpa ketahuan, dengan pakaian yang meneteskan air, melewati mereka yang melihat ke arah jendela?

Alain merasakan tatapan yang kasar lewat bahunya. “Kalau jalan lihat-lihat, bego!”

Dia berbalik dan melihat seorang gadis melewatinya dengan cepat, melangkah penuh semangat.

“Maaf!” katanya, setelah melihat gadis itu (dengan suara lembut).

“Persetan!” perempuan itu menjawab (dengan suara keras) tanpa berbalik menatapnya.

 

Si Peminta Maaf

Sendirian di studio apartemennya dua hari kemudian, Alain menyadari bahwa ia masih merasakan rasa sakit pada bahunya, dan dia memutuskan bahwa gadis muda itu, yang menabrak bahunya di trotoar, secara efektif telah menunaikan apa pun tujuannya. Dia tidak bisa melupakan lengking gadis yang dipanggilnya “Bego”, dan dia mendengar suara memohonannya sendiri saat mengatakan, “Maaf,” diikuti dengan jawaban, “Persetan!” Sekali lagi, permintaan maafnya tidak berarti apa pun! Mengapa selalu secara reflek meminta maaf? Ingatan itu tidak akan meninggalkannya, dan dia merasa harus berbicara dengan seseorang. Dia menelepon pacarnya, Madelaine. Pacarnya tidak sedang berada di Paris, dan teleponnya mati. Jadi dia menekan nomor telepon Charles, dan tidak lama kemudian dia mendengar suara sahabatnya itu lantas ia pun meminta maaf. “Jangan marah. Suasana hatiku sedang sangat buruk. Aku ingin bicara.”

“Waktu yang tepat. Perasaanku pun sedang buruk. Tapi kenapa kau?”

“Karena aku marah kepada diriku sendiri. Mengapa aku merasakan hal itu setiap merasa bersalah?”

“Itu tidak terlalu mengerikan.

“Perasaan bersalah atau tidak—aku rasa itu masalahnya. Hidup adalah perjuangan semua melawan semua. Itu faktanya. Akan tetapi, bagaimana caranya kita berjuang di tengah masyarakat yang lebih atau kurang beradab? Orang-orang tidak bisa sekadar saling serang satu sama lain. Jadi masing-masing dari mereka membuat kejahatan yang mirip dengan penyerangan itu. Seseorang yang bisa membuat orang lain merasa bersalah akan menang. Seseorang yang mengakui kejahatannya akan kalah. Kau berjalan di jalanan, sibuk dengan pikiranmu. Seorang gadis mendekat, berjalan lurus ke depan, seolah-olah dialah satu-satunya manusia yang ada di dunia, berjalan tidak mengambil sisi kanan maupun kiri. Kalian saling menabrak. Dan di sanalah, saat-saat kebenaran terjadi; siapa yang akan melabrak dan siapa yang akan meminta maaf? Itu situasi klasik. Sebenarnya; keduanya adalah pihak yang ditabrak sekaligus menabrak. Dan beberapa orang, biasanya—secara tergesa-gesa, secara spontan—menganggap diri mereka sendiri adalah pihak yang ditabrak, dan dia berada di posisi yang benar, dan secara cepat menuduh pihak lain salah dan memberinya hukuman. Bagaimana denganmu—pada situasi semacam itu, apakah kau menjadi pihak yang meminta maaf atau melabrak?

“Aku, tentu saja menjadi pihak yang meminta maaf.”

“Ah, sahabatku yang malang, begitulah dirimu, mestinya kaulah yang dimintai maaf. Kau berharap, dengan permintaan maafmu, segalanya beres.”

“Tentu saja.”

“Dan kau salah. Seseorang yang meminta maaf, menyatakan bahwa dirinya bersalah. Dan jika kau menyatakan dirimu bersalah, maka kau mendorong pihak lain untuk mengganggumu, meyalahkanmu di depan umum sampai ajal menjemputmu. Itulah konsekuensi yang tak bisa dihindari jika menjadi pihak yang terlebih dulu meminta maaf.”

“Kau benar. Aku tidak seharusnya meminta maaf. Dan sebelumnya, aku lebih menyukai sebuah dunia di mana setiap orang saling meminta maaf, tanpa terkecuali, tanpa tujuan yang muluk-muluk sama sekali, diri mereka dipenuhi permaafan.

Alain kembali menghubungi Madeleine. Tetapi teleponnya berdering dan berdering dengan sia-sia. Pada saat bersamaan, dia mengalihkan perhatiannya pada sebuah foto yang tergantung di dinding. Tidak ada satu pun foto di dalam studionya selain yang satu itu: wajah seorang wanita muda—ibunya.

Beberapa bulan setelah Alain lahir, dia meninggalkan suaminya, yang, sungguh-sungguh bijaksana, tidak pernah mengatakan sesuatu yang menyakitinya. Suaminya seorang yang lemah-lembut, seorang pria yang ramah. Si anak tidak mengerti bagaimana seorang wanita bisa menelantarkan seorang pria yang begitu lemah-lembut dan ramah, dan juga tidak mengerti bagaimana wanita itu sanggup menelantarkan anak lelakinya, yang juga (sepengetahuannya) sejak kanak-kanak (sejauh yang mungkin diingatnya) seorang yang lemah-lembut, seorang yang ramah.

“Dimana Ibu tinggal?” Alain bertanya kepada Ayahnya suatu hari.

“Mungkin di Amerika.”

“Apa maksud Ayah dengan ‘mungkin’?”

“Ayah tidak tahu alamatnya.”

“Tapi kan kewajiban Ibu memberi tahu alamatnya kepada Ayah.”

“Ibumu tidak mempunyai kewajiban apa pun terhadap Ayah.”

“Tapi bagaimana kepadaku? Ibu tidak ingin mendengar kabarku? Ibu tidak ingin tahu apa yang sedang kukerjakan? Ibu tidak ingin tahu apa kupikirkan tentangnya?”

Suatu hari, Ayahnya lepas kendali.

“Karena kau mendesak, Ayah akan memberitahumu: Ibumu tidak pernah ingin kau lahir. Dia tidak ingin kau ada di sekitar sini, membenamkan dirimu sendiri di kursi yang nyaman itu. Dia tidak ingin apa pun darimu. Jadi sekarang kaupaham?”

Ayahnya bukanlah seorang pria yang agresif. Akan tetapi, meskipun sungguh ramah, dia tidak sanggup menyembunyikan ketidaksetujuannya terhadap seorang wanita yang ingin mencegah seseorang terlahir ke dunia.

Aku sudah menggambarkan pertemuan terakhir Alain dengan Ibunya, di samping kolam renang dalam rumah liburan yang disewanya. Dia berumur sepuluh tahun ketika itu. Dan dia berumur enam belas tahun ketika Ayahnya meninggal dunia. Beberapa hari setelah pemakaman, dia menggunting foto Ibunya yang ada di dalam album keluarga, membingkainya, dan menggantungnya di dinding. Mengapa tidak ada foto Ayahnya dalam apartemennya? Aku tidak tahu. Apakah itu tidak masuk akal? Pastinya. Curang? Tak perlu diragukan. Tetapi begitulah kenyataanya. Di dinding studionya, hanya ada satu foto yang menggantung, dan itu adalah foto Ibunya. Seiring berjalannya waktu, dia akan menceritakan mengapa hanya ada satu foto di dinding itu.

 

Bagaimana si Peminta Maaf Lahir

“Mengapa Ibu tidak menggugurkan janin Ibu? Apakah Ayah menghentikan Ibu?”

Sebuah suara datang dari foto itu: “Kau tidak akan pernah memahaminya. Segala yang kaubayangkan tentangku hanyalah cerita dongeng. Tapi aku suka dongeng rekaanmu. Ketika kau menjadikanku seorang pembunuh yang menenggelamkan seorang pria di sungai. Aku sangat menyukainya. Teruslah seperti itu, Alain. Berikan aku sebuah cerita! Ayo, bayangkanlah! Aku mendengarkan!”

Dan Alain mulai membayangkan. Dia membayangkan Ayahnya berada di atas tubuh Ibunya. Sebelum mereka bercinta, Ibunya memperingatkan: “Aku tidak minum pil, hati-hati!” Ayahnya menenangkan Ibunya. Sehingga Ibunya menikmati percintaan itu tanpa kecurigaan, kemudian, ketika dia melihat tanda-tanda hampir mencapai puncak pada wajah suaminya, dan tanda itu semakin kentara, dia menjerit, “Awas!” kemudian “Tidak! Tidak! Aku tidak mau! Aku tidak mau!” Tetapi wajah suaminya memerah dan lebih merah lagi, merah dan menjijikan; dia mendorong tubuh berat yang mengempitnya, dia berontak, tetapi suaminya lebih kuat, dan mendadak dia paham, bahwa bagi suaminya, ini bukanlah hasrat yang buta tetapi kemauan—dingin, kemauan yang telah dipertimbangkan—sedangkan baginya itu lebih dari sekadar kemauan, kebencian, sebuah kebencian yang ganas karena pada pertempurannya ia kalah.

Ini bukanlah kali pertama Alain membayangkan kedua orangtuanya bercinta: percintaan ini menghipnosisnya dan membuatnya mengira-ngira bahwa wujud setiap manusia ditiru secara tepat dalam waktu yang singkat sesuai gambaran itu. Dia berdiri di depan cermin dan menggerak-gerakkan wajahnya, serta secara bersamaan membayangkan kebencian yang lahir bersamanya: kebencian si pria dan kebencian si wanita saat pria itu orgasme, kebenciannya akan keramahan dan fisik yang kuat dengan kebenciannya akan keberanian dan fisik yang lemah.

Dan dia membayangkan buah dari kebencian yang saling bertentangan itu tidak lain adalah si peminta maaf. Dia ramah dan cerdas seperti Ayahnya; dan dia selalu menjadi pengganggu, sebagaimana Ibunya memandangnya. Seseorang yang mempunyai keduanya, sifat pengganggu dan ramah, adalah seseorang yang dikutuk, secara logika hal itu tidak bisa ditawar, untuk terus meminta maaf selama hidupnya. Ia menatap wajah yang menggantung di dinding dan sekali lagi dia melihat seorang wanita yang, dikalahkan, dengan pakaian yang terus meneteskan air, masuk ke dalam mobilnya, keluar tanpa menarik perhatian siapa pun, menaiki tangga, dan, bertelanjang kaki, kembali ke apartemen di mana dia akan tinggal sampai si penggangu meninggalkan tubuhnya. Dan, beberapa bulan kemudian, dia akan menelantarkan keduanya.

 

Pohon Eve

Alain duduk di lantai studionya, condong dan menghadap dinding, kepalanya menekuri lantai: Barangkali dia mengantuk? Suara seorang wanita membangunkannya.

“Aku seperti semua yang sudah kaukatakan sejauh ini, aku menyukai semua yang kauciptakan, dan tidak ada yang perlu ditambahkan. Kecuali, barangkali, pusar. Dalam pikiranmu, contoh wanita yang memiliki pusar-rata adalah malaikat. Untukku, dia adalah Eve, wanita pertama. Dia tidak lahir dari perut, melainkan dari kuasa, kuasa Sang Pencipta. Yang pertama-tama dibentuk adalah kelaminnya, kelamin dari perempuan berpusar rata, itulah bagaimana tali pusar pertama muncul. Jika aku percaya Alkitab, atau kitab-kitab yang lain: seorang bocah laki-laki atau bocah perempuan berdempet dengan tali pusar masing-masing. Tubuh pria tidak dilengkapi kemampuan untuk beranak-pinak, benar-benar tidak berguna, mengingat dari organ intim setiap wanitalah muncul jalinan yang lain, dengan seorang wanita lain atau pria lain pada akhirnya, dan terus begitu, berjuta dan berjuta kali, menjadi pohon yang sangat besar, sebuah pohon yang terbentuk dari tubuh yang abadi, sebuah pohon yang rantingnya mencapai langit. Bayangkan! Pohon raksasa yang akarnya ada di dalam kelamin seorang perempuan kecil, perempuan pertama, Eve si pusar-rata yang malang.

“Ketika aku mengandung, aku melihat diriku merupakan bagian dari pohon itu, berayun dari salah satu cabang, dan kau, tentunya sebelum lahir—aku membayangkanmu terapung-apung di dalam kehampaan, tersangkut cabang yang keluar dari tubuhku, dan kemudian dalam mimpiku ada seorang pembunuh yang terjun lantas menyayat kerongkongan wanita berpusar-rata. Aku membayangkan tubuhnya menggelepar saat sakaratul maut, lalu perlahan-lahan membusuk, sampai kemudian pohon raksasa yang tumbuh dari tubuhnya—sekarang tiba-tiba tanpa akar, tanpa dasar—mulai mati. Aku melihat cabang-cabang pohon yang tanpa batas itu berguguran seperti hujan raksasa, dan—kaupaham maksudku—apa yang kubayangkan bukanlah akhir dari sejarah manusia, penghapusan masa depan mana pun; bukan, bukan, yang kuingingkan adalah lenyapnya umat manusia secara keseluruhan, bersama masa depan dan masa lalunya, dengan permulaan dan akhir, beserta setiap jengkal eksistensi, bersama semua kenangan, bersama Nero dan Napoleon, bersama Budha dan Yesus. Aku ingin pemusnahan total dari pohon yang berakar dalam perut kecil si pusar-rata dari perempuan-bodoh-siapa pun-pertama yang tidak tahu apa yang sedang dilakukannya atau kengerian macam apa yang harus kita bayar untuk persetubuhannya yang menyedihkan, yang tentunya tidak diberikannya secara sukarela.

Suara Ibunya tidak lagi terdengar, dan Alain, sambil menghadap dinding, kembali mengantuk.

Obrolan di Atas Sepeda Motor

Pagi berikutnya, sekitar pukul sebelas, Alain ada janji temu dengan sahabatnya, Ramon dan Caliban, di depan museum, dekat Taman Luxembourg. Sebelum meninggalkan studio, dia menyempatkan diri untuk kembali, mengucapkan selamat tinggal pada foto ibunya. Kemudian dia turun ke jalanan, dan menaiki sepeda motornya, yang terparkir tidak jauh dari apartemennya.

Ketika baru saja naik ke atas sepeda motor, dia merasakan sensasi samar-samar seseorang tiba-tiba duduk di belakangnya, bersandar ke punggungnya. Sebagaimana ketika Madelaine bersamanya, dan menyentuhnya lembut. Ilusi itu menggerakannya; menegaskan cinta yang dirasakannya untuk si kekasih. Dia menyalakan mesin.

Kemudian dia mendengar suara di belakangnya: “Ada yang ingin kubicarakan lagi.”

Bukan, itu bukan suara Madelaine; dia mengenalinya sebagai suara ibunya.

Lalu lintas sedang sepi, dan dia mendengar: “Aku ingin meyakinkan bahwa tidak ada kesalahpahaman di antara kau dan aku, bahwa kita saling memahami satu sama lain—“

Dia mengerem. Seorang pejalan kaki menerobos di antara mobil untuk menyebarang jalan dan menatap ke arah Alain dengan sikap mengancam.

“Aku akan berterus-terang. Aku selalu merasa bahwa mengirim seseorang ke dunia yang tidak diinginkan itu menakutkan.”

“Aku tahu,” kata Alain.

“Lihat sekelilingmu. Dari semua orang yang kaulihat, tidak seorang pun berada di sini atas kemauannya sendiri. Tentu saja, apa yang kukatakan barusan merupakan kejujuran yang paling dangkal. Begitu dangkal, dan begitu utama, itulah kenapa kita berhenti melihatnya dan mendengarnya.”

Selama beberapa menit dia tetap berada di jalurnya, truk dan mobil menyalipnya dari kedua sisi.

“Semua orang berbicara tentang hak asasi. Sungguh konyol! Kehidupanmu tidak ditemukan dengan cara itu. Mereka tidak mengizinkanmu untuk mengakhiri hidupmu sesuai apa yang kaupilih, mereka, para pembela hak asai.”

Lampu lalulintas berganti merah. Dia berhenti. Para pejalan kaki dari kedua sisi jalan berjalan ke sisi seberang.

Dan ibunya mulai lagi: “Lihat mereka semua! Lihat! Setidaknya, separuh dari mereka berwajah jelek. Jelek—bukankah itu juga merupakan hak asasi? Dan membawa keburukan rupamu sepanjang sisa hidupmu? Tanpa sedikitpun merasakan kelegaan? Atau jenis kelaminmu? Kau tidak pernah memilihnya. Atau warna matamu? Atau zaman ketika kau berada di bumi? Atau negaramu? Atau Ibumu? Tidak satupun dari semua itu yang berarti. Seseorang yang tepat sanggup melibatkan diri hanya pada sesuatu yang tanpa ujung, tanpa diperlukan alasan untuk bertempur atau untuk menulis pernyataan yang luar biasa.”

Dia kembali melajukan sepeda motornya, dan suara ibunya kali ini terdengar lebih ramah. “Kau menjadi seperti sekarang karena aku lemah. Itu salahku. Maafkan aku.”

Alain diam, kemudian dia berkata dengan lirih: “Untuk apa kauminta maaf? Untuk kegagalanmu mencegah kelahiranku? Atau untuk ketidakhadiranmu dalam hidupku, yang, sebagaimana telah terjadi, sebenarnya tidak terlalu buruk?”

Setelah diam sejenak, Ibunya menjawab, “Mungkin kau benar. Berarti aku minta maaf untuk keduanya.”

“Akulah yang seharusnya minta maaf,” kata Alain. “Aku hadir dalam kehidupanmu seperti kotoran sapi. Aku membuatmu kabur ke Amerika.”

“Berhentilah meminta maaf! Apa yang kautahu tentang hidupku, Idiot kecilku! Bolehkan aku memanggilmu idiot? Ya, jangan marah; menurutku, kau seorang yang idiot! Dan kautahu dari mana idiotmu itu berasal? Dari kebajikanmu! Kebajikan yang menggelikan!”

Dia telah sampai di Taman Luxemburg. Memarkirkan sepeda motornya.

“Jangan membantah, dan biarkan aku meminta maaf,” kata Alain. “Aku si peminta maaf. Itulah bagaimana kau membuatku, kau dan dia. Dan, sungguh, menjadi si peminta maaf, aku bahagia. Aku merasa senang ketika kita saling meminta maaf, kau dan aku. Bukankah itu manis, saling bermaafan?”

Kemudian mereka berjalan ke museum. ♦

(Dialihbahasakan dari Bahasa Perancis ke Bahasa Inggris oleh Linda Asher, dan untuk membaca versi Bahas Inggrisnya, sila klik di sini.)