Oleh: Lihn

 

Saya pernah membayangkan sebuah dunia yang tertib, teratur, setiap anggota masyarakat paham akan kewajibannya dan dengan senang hati melakukannya, tanpa sedikitpun muncul perasaan marah atau muak kepada penguasa, atau kepada orang yang lebih tinggi, atau bahkan sejajar. Tidak ada persaingan siapa lebih baik daripada siapa, karena semuanya sama. Semua hanya menjalankan tugas dan kewajiban masing-masing. Pekerja mampu bekerja secara efektif, karena hak-hak mereka terpenuhi. Kemacetan sudah menghilang dari jalan-jalan, karena masalah menyangkut itu telah dipecahkan. Tidak ada penggusuran. Tidak ada pemogokan. Tidak ada demonstrasi. Tidak ada anarki. Sebuah dunia yang benar-benar damai.

Meski semua yang sudah saya sebutkan di atas tergambar jelas dalam masyarakat Brave New World, nyatanya, dalam novel tersebut, dunia semacam itu bukanlah sebuah dunia yang benar-benar damai. Kedamaian di dunia buatan Aldous Huxley itu memang ada, tetapi bukan kedamaian sejati. Hanya sebuah kedamaian yang dibalut dengan kebohongan semata—kemunafikan. Sebuah dunia yang menciptakan kedamaian dengan cara keluar dari kehidupan itu sendiri. Mereka menjadikan kemajuan sebagai Tuhan yang baru, menggantikan Tuhan lama yang menimpakan kesakitan, penderitaan, usia tua, bahkan kematian (meski yang saya sebut terakhir tetap ada dalam Brave New World, paling tidak masyarakat di sana menerima kematian itu sebagai bagian dari kehidupan, tanpa rasa takut dan tanpa kesedihan). Juga di sana, manusia tidak dilahirkan, melainkan diciptakan, persis seperti yang kalian lihat dalam film-film sains-fiksi; bayi-bayi dalam tabung. Tanpa kelahiran, tentu saja tidak saja orangtua. Orangtua, adalah hal yang memalukan. Sesuatu yang kotor, yang tidak beradab.

Ironisnya, meski sangat menjunjung tinggi moral, masyarakat di sana bebas berganti-ganti pasangan dan bahkan tidak ada batas minimal usia bagi seseorang sampai bisa melakukannya dengan orang lain. Seseorang yang sanggup bertahan dengan satu pasangan selama empat bulan atau lebih akan dikatakan aneh. Semata-mata, karena setiap orang adalah milik orang lain. Maka, tidak boleh ada penolakan. Dan dalam kondisi masyarakat semacam itu, tentu saja tidak ada pernikahan.

Masyarakat di sana terbagi, atau lebih tepat bila saya menuliskan “diciptakan”, ke dalam lima kelompok: Alfa, Beta, Gama, Delta, dan Epsilon, dengan tugas dan kewajiban yang berbeda-beda. Juga bentuk tubuh dan kemampuan yang berbeda tiap kelompok. Yang paling atas, tentu saja Alfa, dengan segala kesempurnaannya; dan yang paling bawah, adalah Epsilon, para pekerja kasar. Barangkali kalian berpikir, kenapa tidak sekalian saja semuanya diciptakan sebagai Alfa, mengingat mereka semua diciptakan oleh manusia? Alasannya sederhana: untuk menjaga kedamaian, stabilitas. Menempatkan setiap anggota masyarakat pada tempat yang tepat, yang tidak akan membuat mereka berpikir bahwa mereka sesungguhnya bisa lebih baik daripada mereka yang sekarang, akan menghilangkan kemungkinan untuk memberontak … generalisasi adalah kejahatan intelektual yang diperlukan (hlm. 2). Maka, terciptalah dunia yang damai. Lagipula, ketika merasa hendak marah, sistem yang telah ditanam dalam otak membuat mereka secara otomatis meminum sebuah obat yang menyebabkan ekstase.

Akan tetapi, ada sebuah kesalahan. Ketika mereka menciptakan Bernard Marx, tanpa sengaja, darahnya tercampur dengan alkohol, menyebabkan ia tidak berpikir sebagaimana manusia kebanyakan. Ia tidak bahagia dan mendambakan kebebasan. Ia anomali.

*

Brave New World, adalah novel dengan tema dystopia kedua yang saya baca setelah sebelumnya membaca 1984. Alasannya sepele: saya pernah membaca di sebuah artikel yang sudah saya lupa di mana menemukannya, bahwa 1984 dan Brave New World adalah dua novel dengan tema dystopia yang terbaik, yang menjadi bahan rujukan novel-novel dengan tema yang sama yang muncul belakangan. Dan menurut saya pun begitu. Ambil saja contoh paling gambang: pembagian kelas masyarakat, sebuah obat yang memunculkan ekstase. Akan tetapi, jangan kalian berharap akan menemukan ledakan, peperangan, serangan-serangan dari suatu kelompok dalam dua novel yang saya sebut barusan. Tidak ada hal semacam itu di sana.

Dalam 1984, untuk mencegah pemberontakan, pemerintah menciptakan musuh bersama, yang kepada merekalah semua kemarahan diluapkan. Dan seandainya ada satu saja yang hendak melawan, solusinya mudah: culik dan goyahkan keyakinanya. Goyahkan sampai keyakinan itu hilang dan perlahan berganti menjadi kepercayaan kepada pemerintah … kemudian bunuh. Sementara dalam Brave New World, karena tidak ada pembunuhan atau penyiksaan atau hal semacam itu, karena di dalam masyarakat sana tindakan yang saya sebut barusan adalah sesuatu yang tidak beradab, maka yang tersisa adalah pengasingan. Pemerintah tidak perlu khawatir akan ada pemberontakan secara besar-besaran, atau tindakan yang mengarah ke sana, karena dalam kondisi normal, itu tidak mungkin. Setiap anggota masyarakat telah diatur agar menerima saja apa yang menjadi miliknya. Seorang Epsilon tidak akan melawan saat diperlakukan sebagai Epsilon, dan bahkan dia akan bersyukur karena telah diciptakan sebagai Epsilon dan bukan Delta atau Gama atau Beta atau Alfa. Mereka bisa berpikir, namun tidak benar-benar berpikir, dan hanya sanggup berpikir sampai batas yang telah ditentukan.

wpid-img_20150725_233243.jpg

Judul: Brave New World
Penulis: Aldous Huxley
Penerbit: Bentang Pustaka