Bila ingatan saya tidak salah, ialah Eka Kurniawan yang pertama kali memperkenalkan Etgar Keret kepada saya melalui jurnalnya. Akan tetapi, berkat Andina Dwifatma lah, melalui terjemahannya yang apik di blognya, saya akhirnya bisa membaca cerita pendek penulis Israel tersebut untuk kali pertama. Cerita yang sangat tidak biasa bagi saya, dan saya menyukainya. Dan saya berharap akan menemukan terjemahan-terjemahan karyanya yang lain mengingat kemampuan membaca selain dalam Bahasa Indonesia saya yang buruk. Dan betapa girangnya saya begitu tahu jika Bentang Pustaka akan menerjemahkan salah satu karyanya. Dan begitu tahu bahwa buku tersebut sudah terbit dan beredar di toko-toko, saya langsung membeli dan kemudian membacanya.

The Seven Good Years, sebagaimana judulnya, menceritakan rentang tujuh tahun dalam masa hidup Etgar Keret, yang sebetulnya tidak bisa dibilang membahagiakan juga, menurut saya. Dan benar, buku ini adalah memoar. Dan sama halnya dengan beberapa cerita pendeknya yang sudah saya baca (saya ucapkan terima kasih kepada semua yang telah menerjemahkan karyanya, dan kalau bisa … tambah lagi, dong!), kisah-kisah dalam buku ini pun penuh dengan lelucon khas Keret.

Bayangkan saja begini, kau begitu yakin negaramu akan luluh lantak dalam beberapa hari ke depan karena virus zombie atau serangan alien atau cacing-cacing dalam perut bumi memaksa keluar karena sedang bosan atau karena negara tercintamu dijatuhi bom atom, dan hal itu membuatmu pasrah dan enggan melakukan segala hal bahkan sekadar menggaruk pantat dan tiba-tiba saja terlintas dalam otakmu ide yang sedemikian hebat sampai-sampai kau mengira kau adalah seorang genius yang diberkahi dan kau menjalankan ide itu dan ketika kau berada di puncak kegembiraan mendadak kau tersadar jangan-jangan semua itu hanyalah kekhawatiranmu belaka, tidak ada virus zombie, tidak ada serangan alien, tidak ada cacing-cacing yang sedang kebosanan, dan tidak akan ada bom atom yang dijatuhkan.

Atau, saudaramu akhirnya menemukan pencerahan dan memilih menjadi penganut agama yang taat, tetapi orang-orang di sekitarmu tidak lantas bergembira, melainkan mengucapkan belasungkawa kepadamu seolah-olah itu adalah akhir kehidupannya dan orang-orang itu semakin menyesalkan jalan yang dipilih saudaramu lantaran ia memiliki paras yang menawan. Dan sebagian dari dirimu pun setuju dengan mereka.

Kisah-kisah semacam itulah yang akan kita temui dalam buku setebal 195 halaman ini. Cerita-ceritanya seperti fiksi, memang, meskipun ini buku memoar. Akan tetapi, jika kau mempunyai kehidupan yang begitu-begitu saja tanpa humor-humor yang kau temui dan bahkan kau tak yakin kelak akan menceritakan apa kepada cucumu ketika ia memintamu untuk menceritakan kisah masa mudamu yang hebat, bukan berarti kehidupan orang lain sama menyedihkan dengan kehidupanmu juga kan? Atau barangkali kehidupanmu dan orang lain sebetulnya sama saja, hanya cara penerimaan saja yang berbeda, dan Keret—seperti yang diharapkan oleh seorang wartawan yang bertanya kepadanya di sebuah rumah sakit di pinggiran (?) kota Tel Aviv ketika ia sedang menunggu anak pertamanya lahir ke dunia—adalah seseorang yang orisinal, seseorang dengan visi sederhana.

Dan semakin kita membaca, kita akan semakin mengerti memang begitulah Etgar Keret. Tak lain adalah karena Keret tumbuh di lingkungan yang hebat, dengan ayah yang menurut saya jenius dan juga hebat, juga ibunya, juga saudara-saudaranya, juga istrinya, juga anak lelaki pertamnaya, Lev.

Apa itu saja? Apa buku ini hanya berisi lelucon-lelucon saja? Tentu saja tidak. Karena tidak kalah banyak dengan humornya, kisah-kisah yang membikin sedih, dan satu di antara adalah tahun ketika Shira, istri Keret, keguguran dan mengalami pendarahan dan membutuhkan transfusi darah ketika mengandung untuk kali kedua dan tidak berselang lama sebelum itu, dokter mengatakan bahwa ada kanker yang tidak bisa disembuhkan di bawah lidah ayahnya. Dan dalam keadaan terpuruk semacam itu, taksi yang ditumpangi Keret mengalami kecelakaan. Di dalam ambulan, tiba-tiba saja ayahnya menelepon dan menanyakan bagaimana harinya di universitas dan apakah si kecil sudah tidur dan Keret menjawab bahwa harinya baik-baik saja dan Lev sudah tidur. “Suara apa itu?” “Suara sirene ambulan. Ada yang baru saja lewat,” katanya, dan ia ingat ketika ia menelepon ayahnya dan samar-samar ia mendengar suara panggilan seperti di rumah sakit dan ketika ia bertanya, ayahnya menjawab bahwa itu suara pemberitahuan sebuah dompet yang hilang.

Begitulah.

IMG_20160730_093419_HDR